Kebutuhan Diupayakan dari Produksi Lokal
Mengantisipasi harga beras di pasar dunia yang terus naik, Perum Bulog akan fokus membeli beras dalam negeri untuk mendukung stabilisasi harga dan ketahanan pangan. Dari kebutuhan 2,8 juta-3 juta ton beras tahun 2008, sebanyak 2,4 juta ton diupayakan dari produksi dalam negeri.

Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar, Minggu (23/3) di Jakarta, mengatakan, berkurangnya suplai beras ekspor dunia di tengah permintaan yang cenderung stabil mengakibatkan harga terdorong naik. Meskipun tersedia di pasar dunia, harga beras akan sangat tinggi.

”Karena itu, kami akan fokus membeli beras dalam negeri untuk mendukung stabilisasi harga dan ketahanan pangan sampai 100 persen,” ujar Mustafa.

Ia menjelaskan, kenaikan-kenaikan yang menyebabkan terbentuknya harga baru di pasaran dunia itu belum termasuk biaya pengapalan dan asuransi serta bunga bank yang mencapai 30-40 persen.

Mustafa menambahkan, pemerintah harus bisa memanfaatkan momentum kenaikan harga beras di pasar dunia, caranya dengan memproduksi beras sebanyak-banyaknya. Ketika harga beras internasional sudah melampaui harga beras domestik, peluang ekspor terbuka lebar.

Berdasarkan data Bulog, hingga 19 Maret, realisasi pembelian beras dalam negeri dari petani maupun mitra Bulog, seperti perusahaan penggilingan dan pedagang, baru mencapai 148.000 ton, sedangkan volume beras dalam kontrak 237.000 ton.

Tahun 2008, Bulog menargetkan pembelian beras dari produksi dalam negeri 2,43 juta ton. Beras itu untuk keperluan beras untuk rakyat miskin atau raskin, untuk stabilisasi harga, antisipasi bencana, keperluan stok Bulog, dan cadangan beras pemerintah.

Perubahan kebijakan

Terus membubungnya harga beras di pasaran dunia disebabkan, antara lain, oleh dampak perubahan iklim global. Kenaikan harga juga dipicu oleh berbagai kebijakan sejumlah negara produsen utama beras dunia, yang bertujuan untuk mengendalikan laju inflasi di negara-negara tersebut

Pemerintah Vietnam, misalnya, melalui Perdana Menteri Nguyen Tan Dung, pekan lalu meminta menteri keuangannya untuk menerapkan pajak ekspor beras tahun ini. Volume beras yang akan dikenai pajak mencapai 3,5 juta ton untuk pengapalan 10 bulan pertama, termasuk kontrak dengan Filipina.

Namun, belum ada keputusan berapa besar pajak ekspor yang akan dikenakan. Kebijakan baru ini merupakan salah satu dari serangkaian langkah Pemerintah Vietnam menekan laju inflasi. Vietnam merupakan negara pengekspor beras terbesar kedua setelah Thailand.

Ekspor beras Vietnam tahun ini ditargetkan hanya 3,5 juta ton, atau lebih rendah 1 juta ton dari tahun 2007. Bahkan, impor beras Filipina yang sedianya mencapai 1,5 juta ton kemungkinan hanya bisa dipenuhi oleh Vietnam sekitar 1 juta ton.

Di sisi lain harga gabah di tingkat petani Vietnam saat ini naik 65 persen dibandingkan pada Maret tahun lalu.

Kekhawatiran kenaikan harga beras bakal mengganggu laju inflasi tahunan juga menerpa India. Mulai 20 Maret, Pemerintah India menurunkan pajak impor beras menjadi nol persen.

Meskipun selama 10 tahun terakhir India tidak pernah mengimpor beras, pembebasan pajak yang semula mencapai 70 persen dinilai bukan sebuah kebijakan yang salah. Produksi beras India tiap tahun mencapai 90 juta ton. Pembebasan bea masuk itu mengindikasikan adanya kekhawatiran India terhadap produksi padi mereka.

Antisipasi China

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan, China saat ini juga tengah berusaha keras mengumpulkan beras di gudang untuk cadangan pangan mereka. Stok beras nasional China dinaikkan dari 32 juta ton menjadi 40 juta ton. Bea masuk impor pupuk juga ditiadakan karena China masih kekurangan pupuk.

”Semua itu dilakukan menghadapi perubahan iklim global. Sayangnya, Pemerintah Indonesia santai-santai saja meski terbukti produksi beras tahun ini kualitasnya turun,” ujarnya.

Harga beras dengan kadar patahan maksimal 25 persen tahun lalu masih 330 dollar AS per ton. Pada Maret ini harganya di atas 500 dollar AS. Harga beras Vietnam patahan 5 persen pekan lalu 550 dollar AS per ton, sedangkan patahan 10 persen mencapai 540 dollar AS. Di India harga beras patahan 5 persen bahkan mencapai 650 dollar AS.

Kenaikan harga beras tidak hanya terjadi di pasar Asia. Di Argentina, harga beras patahan 10 persen mencapai 625 dollar AS, sedangkan di Uruguay mencapai 630 dollar AS. Kenaikan harga beras kualitas medium di pasar Asia lebih dari 52 persen.

Isu lima tahun lalu

Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo menyatakan, isu soal pangan, termasuk beras, tidak lagi murah sudah muncul sejak lima tahun lalu.

Pemicunya adalah terjadinya peningkatan konsumsi daging dan susu dunia yang membuat kebutuhan pakan berbahan baku jagung dan kedelai naik. Yang paling telak menghantam pangan adalah kebijakan pengembangan energi dari bahan bakar nabati, seperti biofuel dan biodiesel.

”Sebagai contoh, Amerika Serikat tahun 2007 menggunakan jagung sebagai bahan baku etanol sampai 48 juta ton dan tahun ini naik menjadi 68 juta ton. Sekadar catatan, produksi jagung Indonesia hanya 15 ton,” katanya.

Fenomena tersebut mengakibatkan terjadinya perebutan lahan pertanian. Akibatnya, harga pangan melonjak. Harga beras tahun 2002 hanya 165 dollar AS per ton, tahun 2007 naik menjadi 330 dollar AS, dan tahun 2008 harga pembelian beras Vietnam oleh Filipina pada kontrak terakhir mencapai 680 dollar AS.

Siswono menegaskan, Indonesia jangan mengandalkan kebutuhan pangan bangsanya pada produk pangan impor. Oleh karena itu, Indonesia harus mengoptimalkan potensi produk pangan lokal yang ada, yang selama ini terabaikan. (MAS)

Sumber : Kompas