NU Pun Tetapkan Idul Adha pada 27 November

Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memutuskan hari raya Idul Adha 1430 H jatuh pada 27 November 2009. Hal itu didasarkan pada hasil rukyah terhadap hilal (awal bulan).

”Berdasarkan hasil rukyah, kita sudah melihat hilal pada pukul 17.35 WIB sehingga malam ini sudah masuk tanggal 1 Dzulhijah,” ujar Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, KH Ghazalie Masroerie, kepada Republika, Selasa (17/11). Karenanya, sambung dia, Idul Adha 1430 H jatuh pada Jumat (27/11).

Menurut Ghazalie, hilal tersebut berhasil dilihat di Bukit Condrodipo, Gresik, Jawa Timur, oleh dua orang pelaksana rukyah. Dia menyebutkan, kedua perukyah itu adalah H Ahmad dan H Syamsul Fuad yang berasal dari NU Gresik.

Ghazalie menjelaskan, Bukit Condrodipo merupakan satu-satunya titik rukyah yang berhasil melihat hilal. Sedangkan 64 titik lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia tidak berhasil melihat hilal karena tertutup mendung.

Dia mengungkapkan, hasil rukyah itu selanjutnya akan disahkan dalam sidang isbat. Dia menerangkan, sidang tersebut rencananya akan digelar pada Rabu (18/11) sekitar pukul 10.00 WIB.

Keputusan Lajnah Falakiyah PBNU tentang hari raya Idul Adha 1430 H sama dengan keputusan PP Muhammadiyah. Sebelumnya, PP Muhammadiyah pun telah menetapkan Idul Adha 1430 H jatuh pada 27 November 2009. lis/rif

Sumber : Republika

Kesimpulan Forum Tabayyun dan Dialog Terbuka
Antara Jaringan Islam Liberal dan Forum Kiai Muda (FKM) NU Jawa Timur
Di PP Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur
Ahad, 11 Oktober 2009

Dewasa ini sedang berlangsung perang terbuka dalam pemikiran (ghazwul fikri) pada tataran global. Melalui sejumlah kampanye dan agitasi pemikiran, seperti perang melawan terorisme dan promosi ide-ide liberalisme politik dan ekonomi neo-liberal, Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia berupaya menjinakkan ancaman kelompok-kelompok radikal, memanas-manasi pertikaian di antara kelompok radikal dan moderat dalam tubuh umat Islam, serta menyeret umat Islam dan bangsa ini ikut menjadi proyek liberal mereka.

Dengan memperhatikan perkembangan global tersebut, dan terdorong oleh kepentingan membela tradisi Ahlussunnah Waljamaah yang dianut oleh warga NU sebagai bagian dari identitas dan jati diri bangsa ini, Forum Kiai Muda Jawa Timur memberikan kesimpulan tentang hasil-hasil dialog dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) sebagai berikut:

1. Sdr. Ulil Abshar Abdalla dengan JIL-nya tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu (zhuruf), dan pesan sponsor yang tidak berakar dalam tradisi berpikir masyarakat bangsa ini.

2. Pada dasarnya pemikiran-pemikiran JIL bertujuan untuk membongkar kemapanan beragama dan bertradisi kaum Nahdliyin. Cara-cara membongkar kemapanan itu dilakukan dengan tiga cara: (1) Liberalisasi dalam bidang akidah; (2) Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran; dan, (3) Liberalisasi dalam bidang syariat dan akhlak.

3. Liberalisasi dalam bidang akidah yang diajarkan JIL, misalnya bahwa semua agama sama, dan tentang pluralisme, bertentangan dengan akidah Islam Ahlussunnah Waljamaah. Warga NU meyakini agama Islam sebagai agama yang paling benar, dengan tidak menafikan hubungan yang baik dengan penganut agama lainnya yang memandang agama mereka juga benar menurut mereka. Sementara ajaran pluralisme yang dimaksud JIL berlainan dengan pandangan ukhuwah wathaniyah yang dipegang NU yang mengokohkan solidaritas dengan saudara-saudara sebangsa. NU juga tidak menaruh toleransi terhadap pandangan-pandangan imperialis neo-liberalisme Amerika yang berkedok “pluralisme dan toleransi agama”.

4. Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran yang diajarkan JIL, misalnya al-Quran adalah produk budaya dan keotentikannya diragukan, tentu berseberangan dengan pandangan mayoritas umat Islam yang meyakini al-Quran itu firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan terjaga keasliannya.

5. Liberalisasi dalam bidang syari’ah dan akhlak di mana JIL mengatakan bahwa hukum Tuhan itu tidak ada, jelas bertolak belakang dengan ajaran Al Quran dan Sunnah yang mengandung ketentuan hukum bagi umat Islam. JIL juga mengabaikan sikap-sikap tawadhu’ dan akhlaqul karimah kepada para ulama dan kiai. JIL juga tidak menghargai tradisi pesantren sebagai modal sosial bangsa ini dalam mensejahterakan bangsa dan memperkuat Pancasila dan NKRI.

6. Ide-ide liberalisasi, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) yang diangkat oleh kelompok JIL dalam konteks NU dan pesantren tidak bisa dilepaskan dari Neo-Liberalisme yang berasal dari dunia kapitalisme, yang menghendaki agar para kiai dan komunitas pesantren tidak ikut campur dalam menggerakkan tradisinya sebagai kritik dan pembebasan dari penjajahan dan kerakusan kaum kapitalis yang menjarah sumber-sumber daya alam bangsa kita.

7. JIL cenderung membatalkan otoritas para ulama salaf dan menanamkan ketidakpercayaan kepada mereka, sementara di sisi lain mereka mengagumi pemikiran orientalis Barat dan murid-muridnya, seperti Huston Smith, John Shelby Spong, Nasr Hamid Abu Zaid, dan sebagainya.

8. Menghadapi pemikiran-pemikiran JIL tidak dilawan dengan amuk-amuk dan cara-cara kekerasan, tapi harus melalui pendekatan yang strategis dan taktis, dengan dialog-dialog dan pencerahan.

Forum Kiai Muda Jawa Timur,
Tulangan, Sidoarjo, 11 Oktober 2009

(compaq40.wordpress.com)

ritma-bio.blog.friendster.com

Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama baru akan menggelar rukyatul hilal penentuan awal Ramadan 1430 H pada Jumat besok. Dengan demikian dalam sidang itsbat penetapan awal Ramadan yang sedang berlangsung sejak petang tadi, NU tidak dalam posisi melaporkan hasil rukyatul hilal.”Saya tetap akan datang di sidang itsbat dan akan saya jelaskan posisi NU. Dan pada hari besok kalau terjadi hal yang tidak diinginkan harap difahami bersama,” kata ketua pengurus pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama KH Ghazali Masroeri di kantor PBNU, seperti dikutip dari situs nu online di Jakarta, Kamis (20/8/2009).

Selain perwakilan dari Lajnah Falakiyah NU, sidang itsbat juga diikuti Rais Syuriyah PBNU KH Chatibul Umam. Menurut Kiai Ghazalie, penentuan awal bulan puasa baru bisa diketahui setelah diadakan rukyatul hilal sedikitnya di 55 titik di seluruh Indonesia pada Jum’at petang.

“Ada 55 titik rukyat di seluruh Indonesia. Disamping itu ada 99 kader perukyat nasional yang bersertifikat yang tersebar di beberapa titik rukyat, juga para kiai dan ustadz yang biasa melakukan rukyat,” katanya.

Jika tidak ada halangan syar’i, kata Kiai Ghazalie, berupa awan penghalang, dipastikan hilal (bulan sabit) akan terlihat karena ketinggian hilal sudah hampir 12 derajat dan jarak bulan dengan matahari hanya 7 derajat. Pada posisi ini hilal akan mudah terlihat.

Sidang itsbat hari ini diperkirakan akan memutuskan dilakukan istikmal atau penyempurnaan Sya’ban menjadi 30 hari karena pada saat matahari terbenam hari ini bulan masih berada di bawah ufuk -1 derajat. Jika demikian, NU dan pemerintah akan mengawali Ramadan pada hari yang sama meskipun berbeda jumlah hari untuk bulan Sya’ban.

Tim Hilal PWNU Jatim Gagal Lihat Hilal

Tim Rukyatul Hilal PWNU Jawa Timur tidak melihat hilal untuk menentukan awal Ramadan 1430 Hijriah. Demikian dikatakan KH Soleh Hayat wakil ketua PWNU Jawa Timur.

Menurutnya, dari enam titik yang digunakan untuk rukyat, di antaranya di Penambangan, Blitar, Lamongan dan beberapa daerah lain, ternyata hilal tidak nampak sehingga untuk awal Ramadan tidak diawali besok.

“Gagal melihat hilal,” ujarnya.

Sedangkan pimpinan wilayah Muhammadiyah Jawa Timur telah menetapkan awal Ramadan 1430 H pada Sabtu 22 Agustus 2009.

Sementara untuk satu Syawal, bertepatan dengan hari Minggu 20 September 2009. (Johan Samudra/Trijaya/fit)

Sumber :  Okezone

Soal Penyerangan FPI di Monas
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) secara resmi menyatakan tidak terkait dengan kerusuhan Monas yang melibatkan Front Pembela Islam dan Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi meminta NU tidak diseret-seret untuk dibenturkan dengan kelompok lain.

Hasyim menyesalkan penggunaan dan pelibatan nama NU dan kelompok NU dalam kerusuhan Monas. Sebab, kata Hasyim, tidak ada relevansinya antara NU dan AKKBB atau NU dan FPI. Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang itu melihat ada upaya pelibatan orang-orang NU untuk menjadikan NU sebagai pihak yang ikut terlibat dalam bentrokan fisik tersebut.

“Ini tidak boleh terjadi dan harus dicegah. Bentrokan fisik sangat merugikan,” kata Hasyim dalam keterangan persnya di Kantor PB NU Jalan Kramat Raya pagi kemarin (3/6).

Menurut Hasyim, tidak ada seorang pun yang boleh mengatasnamakan PB NU. Sebab, semua keputusan PB NU yang menyangkut akidah dan syariah hanya bisa dikeluarkan melalui rapat gabungan antara syuriah dan tanfidziyah. “Maka, tidak boleh ada seorang pun yang mengambil alih porsi ini, kemudian dia berwacana sendiri atas nama NU,” tegasnya.

Hal itu juga berlaku bagi organisasi di bawah NU seperti GP Ansor, Pagar Nusa, Lakspedam, dan sebagainya. Hasyim menegaskan, tidak ada yang berhak menggiring lembaga-lembaga di bawah NU tersebut untuk terlibat konflik. ”Dan saya ingatkan kepada yang bersangkutan supaya menghentikan langkah-langkah tersebut karena justru NU akan memberikan sanksi kepada siapa pun yang melakukan provokasi, bukan kepada yang terprovokasi,” tandasnya. ”NU jangan diumpankan untuk bentrok-bentrok fisik,” sambungnya.

Dalam kesempatan itu, Hasyim mengimbau warga NU se-Indonesia agar tetap tenang dan tidak terprovokasi. Masalah yang berkaitan dengan Monas akan diselesaikan sendiri oleh PB NU tanpa melibatkan bentrok fisik.

Melihat bentrokan di Monas, Hasyim menilai tindakan FPI dengan dalih apa pun tidak bisa dibenarkan. Kekerasan telah dilakukan tanpa prosedur hukum yang berlaku. “Apa pun alasannya, itu tidak dapat dibenarkan di dalam negara hukum seperti Indonesia ini,” katanya.

Hasyim memaparkan, bentrokan di Monas itu berkaitan dengan perbedaan pandangan soal keberadaan Ahmadiyah. AKKBB dan FPI, tegasnya, sama-sama keliru dalam meletakkan konotasi Ahmadiyah. Masalah Ahmadiyah dinilai sebagai masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Menurut Hasyim, sebenarnya masalah Ahmadiyah bukan masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan. ”Tetapi masalah penodaan agama tertentu, dalam hal ini adalah Islam,” tandasnya.

Kalau Ahmadiyah lahir sebagai agama tersendiri, kata Hasyim, tidak akan ada masalah. Masalahnya, lanjutnya, Ahmadiyah mengaku sebagai bagian dari agama Islam. Fatalnya, kelompok tersebut mengaku memiliki nabi lain setelah Muhammad SAW. ”Itu masalah dalam konteks keislaman, tidak dalam konteks agamanya,” papar Hasyim.

Dia mengatakan, kalau hal itu terjadi di agama lain, pasti juga akan menimbulkan persoalan. Orang Kristen melihat orang Islam atau sebaliknya, tutur Hasyim, tentu harus rela. Sebab, itu adalah masalah kebebasan beragama. ”Tapi, jika ada orang Kristen mengaku orang Kristen, tapi salibnya bukan Yesus, tersinggung nggak? Berarti itu adalah penodaan terhadap intern Kristen sendiri,” terangnya.

Jadi, kata Hasyim, kesalahan FPI dan AKKBB adalah meletakkan masalah Ahmadiyah dalam konteks kebebasan beragama. Padahal, itu adalah pembelokan dari agama tertentu. ”Lain kalau dia (Ahmadiyah) sebagai agama sendiri, itu malah bebas dalam konteks konstitusi Indonesia,” jelasnya.

Karena itu, lanjut Hasyim, harus dibedakan antara kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan masalah penodaan terhadap agama tertentu. Dengan demikian, tidak terjadi kekaburan dari dua persoalan tersebut.

Pemerintah, menurut Hasyim, sampai hari ini lebih banyak berwacana daripada melakukan tindakan prevensi maupun represi.(Jawa Pos)