Asosiasi Pengusaha setuju bahan bakar minyak (BBM) naik. Idealnya, kenaikannya 15 persen. Kalau sekarang jenis premium dijual Rp 4.500 per liter, andaikata kenaikannya mencapai 15 persen, maka kalau benar BBM naik, akan menjadi Rp 5.175.

Persoalannya bukan berapa persen kenaikan ideal BBM. Berapa pun kenaikan itu akan berdampak berantai. Bukan hanya harga BBM yang naik, melainkan harga-harga barang dan jasa pun akan terkerek ikut naik.

Kalau sudah demikian, untuk yang kesekian, masyarakat harus dipaksa menanggung beban membengkaknya pengeluaran. Mereka harus merogoh isi saku (uang) lebih banyak lagi.

Padahal, pada saat yang sama, penghasilan mereka belum tentu meningkat. Kalau pun kemudian penghasilan meningkat, dalam praktiknya, kenaikan itu belum tentu dapat meng-cover tambahan pengeluaran akibat kenaikan harga barang kebutuhan.

Masalah itu memang amat pelik. Kenaikan harga BBM merupakan kebijakan yang sama sekali tidak populer. Setiap kenaikannya langsung berdampak pada meroketnya harga barang kebutuhan. Pada gilirannya, itu memicu sikap dan penilaian publik bahwa pemerintah tidak becus mengurus perekonomian nasional.

Padahal, sejatinya, kenaikan harga BBM sering karena terpaksa. Saat ini, misalnya, kalau kelak harga BBM benar-benar naik -berapa pun kenaikannya- itu karena imbas kenaikan harga minyak dunia.

Misalnya, dalam APBN Perubahan 2008 subsidi BBM ditargetkan Rp 126 triliun. Sedangkan dalam APBN hanya Rp 45,8 triliun. Ini dengan asumsi harga ICP (Indonesian Crude Price) USD 95 per barel. Sementara harga minyak mentah dunia terus melonjak mencapai USD 115 per barel.

Dengan begitu, pemerintah benar-benar dalam tekanan kesulitan. Tidak ada pilihan ketika harus menaikkan harga BBM lantaran dengan kenaikan harga minyak dunia, beban kenaikan subsidi dalam APBN kian berat. Mau tidak mau, subsidi BBM harus dikurangi. Itu berarti harga BBM domestik harus dinaikkan.

Ini dilema yang sungguh-sungguh tidak menguntungkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pemerintahan SBY terkena dampak buruk yang mengakibatkan pemerintahannya menjadi tidak populer di mata rakyatnya.

Persoalan menjadi lebih pelik lagi karena penurunan popularitas itu akan diiringi penurunan legitimasi. Ini benar-benar tidak menguntungkan karena tidak sampai setahun SBY dan pasangannya, M. Jusuf Kalla, harus maju ke medan pemilihan presiden (pilpres) 2009.

Andai saja sampai delapan bulan ke depan dampak kenaikan harga BBM -kalau pemerintah benar-benar menaikkannya- tidak bisa diminimalkan, maka sungguh berat upaya SBY-Kalla untuk bisa mempertahankan kekuasaannya.

Dalam hal ini, akibat kenaikan harga BBM, selain pemerintahannya terus mengalami krisis legitimasi dari masyarakat, juga bakal menjadi bulan-bulanan opini lawan politiknya.

Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain bagi SBY-Kalla selain harus dapat memperkecil dampak buruk kenaikan harga BBM. Sekurang-kurangnya, SBY-Kalla dapat memelihara agar tingkat kesejahteraan masyarakat tidak semakin buruk. (Jawa Pos Online)